Sabtu, 17 Agustus 2013

Bangunan Bersejarah

17 Bangunan Bersejarah Di Tanah Air Kita

Untuk memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Ke-68, pada tanggal 17 Agustus yang jatuh pada hari ini, penulis ingin sekali kembali mengangkat kisah-kisah sejarah yang tersimpan di balik keberadaan ke-17 bangunan bersejarah di tanah air kita ini. Sekedar mengingatkan kita kembali pada perjuangan para pendahulu kita, yang sudah mengorbankan jiwa, raga dan harta untuk mempertahankan tanah air kita tercinta.

Perjalanan sejarah bangsa Indonesia banyak meninggalkan beragam situs dan bangunan yang memiliki nilai historis yang tinggi, yang menyimpan banyak bukti-buktii sejarah dan kisah-kisah mengenai peristiwa-peristiwa penting dari perjalanan sejarah bangsa ini. 17 Bangunan bersejarah di tanah air kita dalam artikel ini, baru sebagian kecil dari begitu banyaknya peninggalan sejarah yang ada di tanah air kita. Banyak diantaranya yang masih berdiri kokoh, terjaga dan terawat rapi, dan menjadi obyek wisata sejarah, namun tidak sedikit dari banguna
n-bangunan bersejarah di tanah air kita tercinta ini terbengkalai, tidak terawat, bahkan yang sangat menyedihkan adalah tidak sedikit bangunan-bangunan bersejarah di negeri ini sudah lenyap keberadaannya.

Tugu dan Rumah Kediaman Bung Karno dan Ibu Fatmawati - Jakarta.

Tugu bersejarah
Keberadaan  “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Republik Indonesia” dan rumah kediaman Bung Karno dan Ibu Fatmawati di jalan Pegangsaan Timur No.56 ini sebenarnya sudah tidak ada. Di sekitar tahun 60-an, Bung Karno sendiri yang memerintahkan untuk dibongkar, karena akan dibangun tugu peringatan Proklamasi yang baru, berikut gedung berlantai enam ( Gedung POLA ), yang pada tanggal 1 Januari 1961 diresmikan mulai pembangunannya oleh Bung Karno. Tugu yang baru diberi nama Tugu Proklamasi atau Tugu Petir. Tugu ini berbentuk silinder dengan ketinggian 17 meter dengan simbol petir di ujungnya. Lokasinya berada tepat dimana Bung Karno dan Bung Hatta membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan.
Monumen Tugu bersejarah
Tugu Petir
Pada tahun 1968, muncul ide untuk mengembalikan keberadaan “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Republik Indonesia”, yang kemudian terealisasi dengan diresmikannya tugu tersebut oleh Menteri Penerangan pada saat itu, Bapak Ali Budiarjo pada tanggal 17 Agustus 1972. Delapan tahun kemudian, Presiden Suharto menambahkan Monumen Soekarno – Hatta.

Bangunan bersejarah Rumah Kediaman Bung Karno di jalan pegangsaan ini bergaya arsitektur Hindia Belanda. Rumah dengan halaman yang luas dan ditumbuhi pepohonan-pepohonan yang rimbun ini ditempati Bung Karno dan Ibu Fatmawati sejak tahun 1942. Atas prakarsa Ikatan Wanita Djakarta, pada 17 Agustus 1946, diresmikanlah “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Republik Indonesia”. Tugu ini bertempat di sisi timur di halaman kediaman Bung Karno.

Rumah Kediaman Laksamana Maeda - Jakarta.

Bangunan bersejarah ini masih dapat kita nikmati keberadaannya. Bangunan ini berada di jalan Imam Bonjol No.1, Jakarta Pusat. Bangunan ini memang berada di kawasan elit Batavia yang sudah dibangun sejak tahun 1920an sebagai bagian dari rencana perluasan kota ke arah selatan yang dimulai dari pusat kota (Weltevreden – Gambir dan sekitarnya ). 
Kediaman Laksamana Maeda ini memang termasuk dalam kawasan perumahan bagi pejabat-pejabat tinggi Hindia Belanda dan Eropa, dan golongan menengah ke atas. Gaya arsitektur bangunan-bangunan di kawasan ini lebih dikenal dengan gaya “Indo-Eropa”, yang masih sarat dengan detai-detail berlanggam art deco. Di sepanjang kawasan ini pula masih dapat kita nikmati keindahan boulevard yang dihiasi deretan pepohonan besar yang rimbun. Tokoh Laksamana Muda Maeda Tadashi sendiri merupakan Perwira Tinggi Angkatan Laut Kekaisaran di Hindia Belanda. 

Laksamana Maeda merupakan salah satu tokoh petinggi militer Jepang yang responsif terhadap situasi pergerakan dan kondisi menjelang Proklamasi Kemerdekaan pada saat itu. Laksamana Maeda menyediakan kediamannya dan menjamin keamanan penuh kepada para perintis kemerdekaan saat itu untuk segera menyiapkan teks proklamasi yang akan dibacakan esok harinya. 

Rumah Djiaw Kie Siong, Rengasdengklok

rumah bersejarah
Rumah Sejarah_ Rengasdengklok_di rumah ini, Bung Karno dan Bung Hatta didesak oleh para pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia
Rumah sederhana yang berada di desa Rengasdengklok Utara, Kabupaten Karawang ini dimiliki oleh keluarga petani kecil keturunan Tionghoa, Djiaw Kie Siong. Rumah  ini menjadi salah satu bangunan bersejarah yang sangat patut dilestarikan keberadaannya. Di rumah inilah, beberapa pemuda pada saat menjelang diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. 

Rumah ini sebenarnya sudah bergeser 200m dari tempat aslinya, karena terpaan erosi dari derasnya arus sungai citarum, sehingga pada tahun 1957 rumah ini dipindahkan dengan tetap mempertahankan bentuk dan material aslinya. Keturunan keluarga Djiaw Kie Siong-pun masih setia menempati dan merawat bangunan bersejarah ini.

Rumah Lengkong, Serpong – Tangerang.

Rumah Lengkong merupakan semacam rumah tinggal biasa seperti rumah-rumah betawi pada umumnya, yang menjadikan bangunan bersejarah ini istimewa adalah, peristiwa sejarah yang terjadi di desa Lengkong, tempat dimana bangunan ini berada ( pada saat itu markas tentara Jepang ). Dua bulan setelah Indonesia merdeka, di daerah Tangerang telah didirikan Akademi Militer atas prakarsa perwira muda Mayor Daan Mogot ( usia 16 tahun ).
bangunan rumah bersejarah
Rumah Lengkong_ pada peristiwa Lengkong, rumah ini merupakan markas tentara Jepang

Menjelang peralihan kekuasaan Jepang kepada Sekutu, di berbagai daerah termasuk Tangerang, terjadi perundingan-perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang, agar pihak Jepang dapat menyerahkan senjata dan perlengkapannya kepada Indonesia, serta mengatur pemulangan tawanan-tawanan sekutu. Tidak sedikit perundingan-perundingan tersebut berakhir dengan insiden atau pertempuran, termasuk Pertempuran di desa Lengkong, 25 Januari 1946. 
Dalam insiden yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Lengkong” ini, 33 taruna dan 3 perwira, termasuk Mayor Daan Mogot sendiri gugur. Rumah Lengkong yang sederhana ini kini menjadi sebuah museum, tidak jauh dari bangunan ini terdapat Monumen Lengkong.

Gedung Juang Tambun – Bekasi.

Sedikit sekali orang yang mengetahui keberadaan bangunan bersejarah Gedong Juang Tambun atau Gedong Tinggi ini. Diperkirakan dibangun pada tahun 1906, milik tuan tanah keturunan Tionghoa, Kow Tjing Kie dan kemudian beralih ke Kouw Oen Huy hingga kemudian digunakan oleh tentara Jepang selama masa pendudukannya. Setelah Jepang kalah perang, dan memasuki masa perang kemerdekaan, bangunan ini kemudian diambil alih oleh Komite Nasional Indonesia, sebagai kantor Kabupaten Jatinegara, sekaligus menjadi Pusat Komando Perjuangan RI, terutama sebagai front pertahanan terdepan di daerah pesisir utara jawa barat. 
bangunan bersejarah
Gedung Juang 45 Tambun, Bekasi atau yang juga dikenal dengan nama Gedong Tinggi

Tahun 1947 Belanda/NICA berhasil mengambil alih gedung ini, saat Agresi Militer I, yang kemudian direbut kembali tahun 1950, menjadi Markas Batalyon “Kian Santang”/Siliwangi, sekitar tahun 60-an bangunan bersejarah ini dibeli oleh Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, dan berapa kali menjadi gedung instansi pemerintah daerah hingga kini (?)

Rumah Perundingan Linggarjati.

bangunan bersejarah
Bangunan bersejarah ini, tempat diadakannya Perundingan Linggarjati antara pihak Indonesia dan pihak Belanda
Bangunan bersejarah ini tentu tidak asing lagi bagi kita, rumah bergaya Indo-Belanda merupakan saksi utama diadakannya Perundingan Linggarjati pada tanggal 11-13 Nopember 1946, antara Republik Indonesia dengan Pemerintahan Pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan I, yang isinya tentunya lebih banyak menguntungkan pihak Belanda, dimana seluruh kekuatan TNI harus segera mengosongkan daerah-daerah yang sudah ditentukan sebagai daerah pendudukan Belanda hijrah ke daerah-daerah republik, yaitu sebagian pulau Sumatra, sebagian Jawa dan Madura. Bangunan rumah bersejarah  ini masih utuh dan terawat baik sebagai sebuah museum dan obyek wisata sejarah. Banguan ini berada di Desa Linggarjati Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Museum Rumah Sejarah Kalijati.

bangunan bersejarah
Bangunan bersejarah berupa Rumah Mungil sekitar 10mx10m ini menjadi tempat Kapitulasi Pemerintahan Tinggi Militer Hindia Belanda dengan pihak Kekaisaran Jepang. 350 tahun pendudukan Belanda di Indonesia berakhir di sebuah rumah mungil di desa Kalijati.
Berbeda dengan Linggarjati, bangunan bersejarah yang terletak di daerah Subang, Jawa Barat ini, justru menjadi saksi utama Peristiwa Kapitulasi Belanda – Jepang. Pada tanggal 8 Maret 1942, Pemerintahan Militer Tertinggi Hindia Belanda yang diwakili oleh Let Jend Ter Porten menyerahkan seluruh kekuasaan Hindia Belanda tanpa syarat kepada Pihak Jepang yang diwakili oleh Let Jend Hitoshi Immura, Panglima Tentara ke-16 Kekaisaran Jepang, dan 350 tahun masa pendudukan Belanda berakhir di rumah mungil di desa Kalijati. Lapangan Udara Kalijati sendiri masih berfungsi hingga kini dengan nama Lapangan Udara Suryadarma.

Museum Gedung Juang 45 – Jakarta.

bangunan museum bersejarah
Museum Gedung Juang 45 di jalan Menteng Raya 31.
Bangunan bersejarah yang berada di jalan Menteng raya No.31, di depan sekolah Kanisius. Dibangun di sekitar tahun 30-an, bergaya arsitektur Neo-klasik. Pernah menjadi sebuah hotel bernama Schomper Hotel sesuai nama pemiliknya L.C. Schomper. Pada masa pendudukan Jepang, digunakan oleh Ganseikanbu Sendenbu ( Instansi Propaganda Jepang ). Kira-kira sehari menjelang diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan sempat ingin menggunakan gedung ini, namun ditolak, yang akhirnya pilihan jatuh di kediaman Laksamana Maeda.

Rumah Pengasingan Bung Karno di Bengkulu.

bangunan bersejarah di Bengkulu
Rumah Kediaman Bung Karno semasa pengasingannya di Bengkulu
Bangunan Rumah bersejarah ini merupakan kediaman Bung Karno saat beliau diasingkan oleh pihak Belanda dari tahun 1938 hingga masuknya Jepang ke Indonesia di tahun 1942. Bangunan rumah ini sekarang menjadi obyek wisata sejarah atau museum, dan kondisinya masih terawat baik sebagaimana bentuk aslinya. Rumah ini sebelumnya dimiliki oleh pengusaha sembako Tan Eng Cian, yang kemudian disewa oleh Pemerintah Hindia Belanda di Bengkulu, sebagai kediaman Bung Karno selama masa pengasingannya.

Rumah Pengasingan Bung Hatta di Bandaneira.

bangunan bersejarah di bandaneira
Bangunan rumah bersejarah-Kediaman Bung Hatta selama masa pengasingannya di Bandaneira, bersama beberapa tokoh lainnya, seperti Sutan Sjahrir, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan Mr. Iwa Kusumasumantri
Pada tahun 1930an Bandaneira merupakan tempat pengasingan tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, serta Dr. Ciptomangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri, yang sudah lebih dulu diasingkan di banda, di sekitar tahun 1928.

Museum PDRI di Kototinggi, Sumatra Barat.

bangunan bersejarah di kototinggi
Museum Sejarah PDRI
Akhirnya pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresinya yang kedua ke seluruh wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta berikut sejumlah menteri ditangkap. Namun Presiden Sukarno sempat memberikan mandat walaupun belum disiarkan secara resmi kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara untuk segera membentuk pemerintahan darurat di luar Yogyakarta. Kemudian Pemerintahan alternative ini diselenggarakan di daerah Nagari Koto Tinggi, Kabupaten 50 kota, Sumatra Barat.

Hotel Yamato atau Hotel Oranye – Surabaya.

bangunan bersejarah
Oranje Hotel di Surabaya, salah satu hotel terbaik di jamannya, bahkan hingga kini.
Bangunan bersejarah yang kini menjadi Hotel Majapahit di jalan Tunjungan No.65, dibangun pada tahun 1910 oleh Lukas Martin Sarkies bersaudara asal Armenia ( termasuk yang membangun Hotel Niagara di Lawang ) didesain oleh arsitek Inggris, James Afprey dengan bergaya art nouveau, yang kemudian pada tahun 1931, arsitek Prof. Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker melakukan beberapa renovasi dengan menampilkan detail-detail berlanggam art deco.
bangunan bersejarah
Insiden Bendera di Hotel Oranje

Pada masa pendudukan Jepang Hotel ini berubah nama menjadi Yamato Hoteru, dan berubah fungsi menjadi penjara, hingga kedatangan sekutu setelah kekalahan Jepang di Asia. “Insiden Bendera” yang sangat melekat dengan bangunan bersejarah ini, dipicu oleh beberapa opsir Belanda yang mengibarkan bendera mereka tanpa persetujuan pemerintah RI di Surabaya.

Sikap Belanda yang tetap ingin mengibarkan bendera mereka akhirnya memicu pemuda-pemuda Surabaya menyerbu masuk dan naik ke bagian menara, yang kemudian merobek bagian warna biru bendera, dan mengibarkannya kembali menjadi bendera merah putih dengan disambut pekik “MERDEKA..!!” 

Gedung Internatio – Surabaya.

bangunan bersejarah
Bangunan bersejarah-Gedung Internatio Surabaya
Nama bangunan bersejarah ini sebenarnya berasal dari kata Internationale Crediten Handelvereeniging. Berada di jalan Jayengrono, Surabaya, didesain oleh Ir. Frans Johan Louwrens Ghijsels, seorang arsitek Belanda yang banyak mendesain bangunan-bangunan di jawa, dan salah satunya adalah Stasiun Beos-Kota, Jakarta Barat. Ketika pasukan sekutu mulai memasuki dan menguasai Surabaya melalui pelabuhan Tanjung Perak, gedung Internatio dijadikan markas tentara sekutu, dan gedung ini pula yang menjadi salah satu saksi bisu insiden terbunuhnya Brigadir Jendral Aubertin Mallaby.

Gedung Sate – Bandung.

Gaya arsitektur bangunan bersejarah ini banyak mendapat perhatian di banyak kalangan di masa itu, Gedung Sate atau  Gouvernements Bedrijven (GB) dianggap sebagai bangunan bergaya arsitektur Indo-Eropa yang paling indah yang pernah diciptakan. Maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". 
Gedung yang dirancang oleh arsitek J Gerber ini diselesaikan pembangunannya pada awal tahun 1924, setelah melalui 4 tahun masa pekerjaan, dengan penempatan batu pertama dilakukan pada tanggal 27 Juli 1920 oleh Johana Catherina Coops, putri sulung Walikota Bandung B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia.

Gedung Merdeka – Bandung.

Sociëteit Concordia
Sociëteit Concordia
Siapa  yang tak kenal bangunan bersejarah yang satu ini, Gedung Merdeka, bangunan yang mengumandangkan aspirasi 29 negara-negara Asia-Afrika ( beberapa negara masih dalam masa penjajahan ) mengenai hak-hak kemerdekaan bangsa, perdamaian dunia dan anti-kolonialisme ke seantero dunia, yang kemudian tertuang dalam Dasasila Bandung.
bangunan bersejarah di bandung
Gedung Merdeka, tampak depannya yang kental dengan langgam art deco

Sekilas, penulis ingin menyisipkan untaian kata yang pernah terdapat pada reruntuhan dinding di masa perang kemerdekaan maupun dikumandangkan para pejuang, “Kami Cinta Damai…tapi Kami Lebih Cinta Kemerdekaan…” untaian kata yang spiritnya tertuang dalam Dasasila Bandung dan berkumandang ke seantero dunia melalui Konferensi Asia-Afrika yang berlangsung pada tanggal 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka Bandung.
bangunan gedung bersejarah
Gedung Merdeka yang dulu bernama Sociëteit Concordia

Seperti kota-kota besar lain di Hindia Belanda, Bandungpun memiliki gedung sebagai tempat sosialisasi bagi masyarakat Belanda dan Eropa, terwujud sebagai Sociëteit Concordia, nama yang pertama kali disandang gedung yang berlanggam art deco ini, gedung yang berdiri megah sejak tahun 1895 ini digunakan sebagai tempat sosialisasi masyarakat Belanda dan Eropa, terutama yang berdomisili di Bandung di masa itu.

Gedung Agung Yogyakarta.

Pada tahun 1824, A Payen, seorang arsitek Belanda ditunjuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa itu untuk merancang sebuah bangunan “istana”bagi Residen-residen Belanda, atas prakarsa Residen Yogya ke-18, Anthony Hendriks Smissaerat. Bangunan bersejarah ini sempat tertunda pembangunannya, karena pecahnya Perang Diponegoro atau Perang Jawa ( 1825-1830 ), bahkan sekitar tahun 1867, bangunan ini sempat runtuh karena terjadinya gempa bumi. Bangunan ini akhirnya dapat diselesaikan pembangunannya pada tahun 1869.
bangunan bersejarah
Bangunan bersejarah_Gedung Agung Yogyakarta

Bangunan bersejarah ini memiliki peran penting pada masa perang kemerdekaan, terlebih dengan hijrahnya pemerintah pusat RI ke Yogyakarta, karena mulai mendaratnya tentara sekutu dan NICA Belanda ke Jakarta, dan pada tanggal 6 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia, dan Gedung Agung Yogya resmi menjadi Istana Kepresidenan dan menjadi kediaman resmi Presiden I Republik Indonesia.

Dalam riwayatnya seiring dengan perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia selama perang kemerdekaan, bangunan bersejarah ini menjadi tempat dari berbagai peristiwa penting, seperti pelantikan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TNI, pelantikan dan pembentukan 5 kabinet RI di masa itu.

Kompleks Istana Negara dan Istana Merdeka – Jakarta.

Bangunan bersejarah ini menjadi saksi ketika perlahan tapi pasti…., bendera Kerajaan Belanda bergerak turun, disusul kemudian dengan naiknya Sang Merah Putih menjulang tinggi dan akhirnya berkibar di langit biru, yang kemudian serentak disambut dengan gegap gempita luapan kegembiraan dan pekik..MERDEKA…MERDEKA..dari rakyat Indonesia yang menyaksikan saat-saat yang sudah lama dinanti-nantikan. Pada di hari itu, tanggal 27 desember  1949, berakhir sudah masa penjajahan Belanda atas Kedaulatan Republik Indonesia.
bangunan bersejarah
Istana Merdeka - Jakarta

Bangunan bersejarah Istana Negara dan Istana Merdeka merupakan dua bangunan dalam satu kompleks, Istana Negara menghadap ke  arah sungai Ciliwung atau sejajar dengan jalan Veteran, sedangkan Istana Merdeka menghadap ke arah Monas.
Istana Negara awalnya merupakan kediaman seorang pengusaha Belanda, J.A Van Braam yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan menjadi kediaman para Gubernur Jenderal Belanda. Dibangun pada tahun 1796, pada masa Pieter Gerardus Van Overstraten menjadi Gubernur Jenderal Hindia belanda, dan selesai pada tahun 1804.

Istana Negara - Jakarta

Istana Merdeka dibangun pada sisi selatan di tahun 1873, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Loudon, selesai enam tahun kemudian pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johan Willem Van Landsbarge. Bangunan bergaya Neo-Klasik ini didesain oleh seorang arsitek bernama Drossares. Bangunan bersejarah inilah yang hingga hari ini untuk kesekian kalinya menjadi tempat diselenggarakannya Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Republik Indonesia  yang diadakan setiap tahunnya di halaman depan Istana Merdeka.

DIRGAHAYU NEGERIKU…DIRGAHAYU BANGSAKU…DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE-68…SEMOGA ALLAH YANG MAHA ESA SELALU MEMBERIKAN LINDUNGAN DAN MELIMPAHKAN RAHMATNYA KEPADA NEGARA DAN BANGSA INDONESIA…AMIN…

Semoga artikel 17 Bangunan Bersejarah Di Tanah Air Kita ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua untuk selalu menjaga dan melestarikan nilai-nilai sejarah bangsa ini…Amin..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar